Setelah mencari informasi tentang Jancok maka muncul berbagai asumsi tersebut, dan dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap jancok sendiri. Pertama, jancuk merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok. Kedua, munculnya ‘aroma’ seksualitas yang kental dalam jancuk.
Jancuk yang kental unsur seksualitasnya seperti akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan disini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut estimologi dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh. Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikimpoikan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. Sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik Arek Surabaya. Tak dapat dipungkiri pada tahun 1930an-1940an, arek surabaya dikenal sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.
Jancuk digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka. Arek Surabaya menggunakan jancuk ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai jancuk ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri.
Pada dasarnya jancuk merupakan penanda masyarakat untuk Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, jancuk merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun disisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter. Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215)
Dan akhirnya hal tersebut sepertinya menguatkan kepercayaan bahwa kata jancok sudah merupakan identitas arek Suroboyo, sekaligus kata salam atau sapaan yang menjadi suatu ungkapan yang mengandung arti kedekatan emosi sesuai dengan karakter arek Soroboyo. Namun demikian baik Sabrod. D Marioboro maupun Edi T. Samson mengatakan dalam penggunaannya harus tetap memperhatikan esensi, situasi, tempat dan kepada siapa kata itu diungkapkan dan ditujukan. Jangan sampai hanya kerena ‘jancok’ terjadi pertumpahan darah yang menumbangkan persatuan yang selama ini dibina.
Apa makna “Jancok” menurut anda? Apakah anda kerap kali mengucapkan kata Jancuk, Jancok, Juuuaaannnnnccccoookkkkkkk, Cok atau Cuk?
2 komentar:
Thanks for sharing this useful info
Hey keep posting such good and meaningful articles.
Posting Komentar